Pelajaran dari Sejarah Jepang

pelajaran sejarah jepang
Pelajaran dari Sejarah Jepang

Unit 731 di Harbin menjadi salah satu contoh nyata bagaimana suatu bangsa, ketika mengejar kekuatan tanpa batas, rela melanggar hukum alam dengan cara yang paling kejam. Di sana, eksperimen biologi dilakukan terhadap manusia yang disebut maruta—secara harfiah berarti “balok kayu”—sebuah istilah yang sengaja dipakai untuk meniadakan sisi kemanusiaan para korban. Warga setempat masih menyimpan kesaksian tentang penderitaan yang terjadi. Fakta Unit 731 menunjukkan bahwa ketika sesuatu dibangun di atas dasar yang tidak alami—maka kekejaman dan kehancuran adalah konsekuensi yang tidak terelakkan. Ini adalah salah satu contoh dari banyak praktik ekstrem yang muncul ketika manusia berusaha menciptakan sesuatu dari ketiadaan dan menempatkan kekuatan semu di atas hukum alam.

Transformasi Jepang sejak Restorasi Meiji menjadi salah satu contoh bagaimana sebuah bangsa, ketika mencoba mengejar kekuatan dengan mengadopsi pandangan hidup kapitalisme modern—yang menjadikan fiat sebagai uang dan kredit sebagai dasar pertumbuhan—masuk ke jalur yang pada akhirnya berujung pada ledakan semu, kekejaman, dan kehancuran. Penting digarisbawahi bahwa ini bukan persoalan Barat atau Timur, bukan pula persoalan etnis atau agama tertentu, melainkan persoalan pandangan hidup yang menempatkan fiat sebagai uang. Kapitalisme modern bukan geografis; bukan pula Yahudi sebagai etnis/agama tertentu. Ini adalah cara pandang hidup yang menganggap penciptaan uang dari ketiadaan supaya bisa digunakan untuk mengendalikan semua aspek kehidupan, termasuk memaksakan kehendak layaknya Tuhan.

Siapa pun yang berusaha menguasai penciptaan uang fiat, ia berusaha mengendalikan seluruh aspek kehidupan, seakan ingin menggantikan peran Tuhan. Namun, hukum alam tetap berlaku: bahkan pengendali itu sendiri tidak luput dari kehancuran; upaya mengendalikan kehidupan lewat fiat akhirnya menghancurkan dirinya, sekaligus membawa kehancuran bagi dunia secara keseluruhan.

Jepang menjadi contoh ekstrem dalam hal ini. Dengan disiplin dan mentalitas seperti samurai, segala sesuatu diupayakan dengan kekuatan penuh. Namun, karena dasar yang dipakai adalah sesuatu yang melawan hukum alam—menciptakan sesuatu dari ketiadaan—lahirlah konsekuensi brutal: genosida, kerja paksa, dan lain sebagainya.

Pasca-Perang Dunia II, Jepang tidak mengerem. Mereka melanjutkan jalur yang sama, berpindah dari kekuatan militer ke kekuatan ekonomi, yang juga berbasis kredit. Hasilnya adalah pertumbuhan spektakuler disertai masalah berkelanjutan yang hingga kini tidak selesai. Jepang tetap bergulat dengan konsekuensi dari fondasi yang tidak selaras dengan hukum alam. Bahkan berbagai narasi modern yang mengagungkan budaya Jepang atau teknologi canggih seolah ingin menunjukkan contoh kesuksesan suatu negara yang berdisiplin dengan semua aturan uang fiat—tetapi pada kenyataannya bersifat rapuh dan menimbulkan risiko kehancuran jangka panjang.

Indonesia menghadapi konteks berbeda, tetapi ada paralel penting. Pendirian negara pada 1945 bukan hanya dorongan meniru “kemajuan” Barat, tetapi juga strategi bertahan hidup dalam dunia yang sudah didominasi sistem negara modern berbasis fiat. Tanpa negara, rakyat akan kehilangan perlindungan minimal terhadap kekuatan asing yang siap mengeksploitasi atau memusnahkan. Dengan negara, ada peluang bertahan—meski harga yang dibayar adalah masuk ke dalam sistem yang sama, dengan segala konsekuensinya.

Namun, pelajaran terbesar tetap sama: perbuatan yang melawan hukum alam selalu berujung pada kehancuran. Sistem berbasis fiat, cepat atau lambat, pasti menuju titik runtuh. Mekanisme “gas dan rem” yang dijalankan oleh negara-negara modern hanya memperpanjang waktu, tetapi bukan solusi. Budaya yang hebat, disiplin yang mengagumkan, atau bahkan teknologi yang maju, semua akan roboh bila dasarnya adalah fiat.

Untuk mempermudah pemahaman, analogi yang paling tepat adalah sarang laba-laba. Dari luar tampak rapi, simetris, bahkan indah. Namun, jaring itu rapuh, hancur hanya dengan sentuhan kecil. Lebih parah lagi, sarang itu dibangun untuk menjebak dan menghisap kehidupan lain demi keberlangsungan sementara. Sistem fiat serupa: tampak teratur, tampak menjanjikan kekuatan, tetapi sesungguhnya adalah perangkap yang merusak, dan pada akhirnya menghancurkan bahkan si pembuat sarang itu sendiri.

Selama manusia mencoba mengendalikan seluruh aspek kehidupan, ujungnya selalu sama—kehancuran yang merata.

Dengan demikian, pola ledakan semu hingga kehancuran bukanlah kebetulan sejarah, melainkan akibat logis dan matematis dari sistem yang bertentangan dengan hukum alam. Semua mengingatkan bahwa kekuasaan yang dibangun di atas keinginan untuk menjadi Tuhan, adalah memperbuat kerusakan. Dan siapakah yang berbuat kerusakan? Yang berbuat kerusakan adalah orang yang berkata bahwa ‘saya akan melakukan perbaikan’.

You may also like...