AI dan Ketakutan Manusia: Masalahnya Bukan pada Teknologinya, Tapi pada Nafsu Kita Sendiri

manusia takut ai
Ilustrasi keberatan manusia terhadap AI

Di tengah kemajuan pesat kecerdasan buatan (AI), muncul ketakutan kolektif yang nyaring terdengar di ruang publik. Narasi-narasi seperti “kiamat digital”, “dominasi mesin atas manusia”, hingga “robot akan memperbudak umat manusia” menjadi semacam mitologi modern. Sejumlah tokoh teknologi dan ilmuwan, seperti Elon Musk dan Stephen Hawking, bahkan memperingatkan bahwa AI bisa menjadi “ancaman eksistensial” bagi umat manusia.

Namun, benarkah ancaman itu datang dari teknologi itu sendiri? Atau, jangan-jangan, ketakutan itu lebih mencerminkan kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya sendiri?

Ketakutan yang Mencerminkan Krisis Moral

Teknologi bukanlah makhluk hidup yang memiliki kehendak. AI tidak pernah “berniat” membunuh atau menguasai manusia. Ketakutan kita terhadap AI lebih merupakan refleksi dari krisis moral dan spiritual umat manusia. Kita tahu bahwa teknologi bersifat netral—ia hanyalah alat.

Seperti kata Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin:

“Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan.”

AI mungkin mampu meniru ilmu, tapi ia tidak mampu mengamalkannya. Ia tidak punya kehendak, niat, atau tanggung jawab moral.

Sebagai ilustrasi sederhana, kita bisa melihat palu. Alat ini dapat digunakan untuk membangun rumah atau menghancurkan kepala seseorang. Palu bukanlah masalah; masalahnya ada pada orang yang menggunakannya. Demikian pula AI.

Teknologi dalam Pandangan Islam: Sarana, Bukan Tujuan

Islam memandang teknologi sebagai alat, bukan sebagai tujuan akhir. Dalam Surah Al-Jasiyah ayat 13, Allah berfirman:

“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Teknologi, seperti makhluk ciptaan lainnya, ditundukkan untuk kemaslahatan manusia. Ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi menegaskan dalam berbagai fatwanya bahwa pemanfaatan teknologi, termasuk AI, adalah bagian dari tugas khilafah manusia di bumi—selama ia digunakan untuk kebaikan dan tidak melanggar prinsip syariat.

AI Tidak Bisa Menggantikan Ulama

Salah satu kekhawatiran besar publik adalah bahwa AI akan menggantikan manusia dalam bidang keilmuan dan keagamaan. Memang, AI dapat mengakses, menganalisis, dan menyampaikan informasi keagamaan dengan cepat dan tepat. Namun, ia tidak akan pernah menggantikan seorang alim ulama.

Seorang ulama tidak hanya menyampaikan ilmu, tapi juga mengamalkannya, membimbing umat dengan kebijaksanaan, dan menyucikan jiwa. Seperti yang dikatakan Syekh Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah:

“Ilmu yang tidak membuahkan amal adalah seperti pohon tanpa buah.”

AI dapat membantu menyampaikan ilmu, tapi ia tidak dapat membimbing manusia dengan kasih sayang, hikmah, dan keteladanan. Justru, AI akan menggantikan mereka yang mengajar ilmu agama sebagai sekadar informasi data mati, tanpa ruh pengamalan dan tanggung jawab spiritual.

Bahaya Bukan dari AI, Tapi dari Nafsu yang Tak Terkendali

Ketakutan bahwa AI akan memperbudak manusia sebenarnya ironi. Sebab, bahkan tanpa AI sekalipun, manusia hari ini telah lama diperbudak oleh sistem kapitalistik global yang tidak manusiawi. Kita bekerja seperti mesin, dikendalikan oleh algoritma ekonomi, dan terjebak dalam konsumerisme digital. Maka pertanyaan yang lebih jujur: siapa sebenarnya yang memperbudak kita?

Sebagaimana ditegaskan oleh almarhum Prof. Nurcholish Madjid (Cak Nur),

“Masalah besar umat bukanlah pada teknologi, tetapi pada krisis moral dan spiritualitas.”

Data mendukung pernyataan ini. Menurut laporan World Economic Forum (2023), penggunaan AI di bidang manipulasi opini publik meningkat 30% dalam lima tahun terakhir. AI digunakan untuk deepfake, penyebaran hoaks, hingga propaganda politik. Tapi sekali lagi, yang membuat itu semua terjadi bukan AI, melainkan manusia yang memilih untuk menggunakannya demikian—karena dorongan nafsu kekuasaan dan keuntungan.

Pengetahuan Sejati Adalah Amal

AI tidak memiliki tindakan. Ia hanya memproses dan menampilkan data. Sementara pengetahuan sejati, menurut Islam, adalah yang membuahkan tindakan. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah bersabda:

“Ilmu itu adalah apa yang memberikan manfaat, bukan apa yang hanya dihafal.”

Inilah pembeda manusia dan mesin. Kita diberi akal dan hati. Kita mampu mengambil keputusan bermoral, menimbang baik-buruk, dan bertanggung jawab atas pilihan kita. AI tidak bisa melakukan itu.

AI Adalah Cermin, Bukan Musuh

Jadi, mari kita jujur. Ketakutan kita terhadap AI sebenarnya adalah ketakutan terhadap bayangan diri kita sendiri—manusia yang lupa untuk menyucikan jiwanya, tapi terus memproduksi alat-alat berbahaya. AI bukanlah penyebab kerusakan moral, melainkan hanya mempercepat dan memperjelas arah manusia yang sudah kehilangan kompas spiritual.

Maka tugas kita bukan menolak AI, tapi menyucikan niat dan memperbaiki arah pemanfaatannya. AI bukan makhluk berbahaya, tetapi tangan yang menggunakannya bisa membawa bahaya, jika tidak diarahkan oleh akhlak dan iman.

Jika kita ingin dunia yang aman dari bahaya AI, maka jawabannya bukan pada kode, melainkan pada kalbu.

You may also like...