Ketika Menghormati Berubah Jadi Mengultuskan: Bahaya yang Tak Banyak Disadari

bahaya kultus individu
Ilustrasi kultus individu

Menghormati seseorang adalah bagian dari budaya kita. Kita diajarkan sejak kecil untuk menghargai guru, tokoh agama, pemimpin, atau siapa pun yang menunjukkan kebijaksanaan, kebaikan hati, dan integritas. Rasa hormat ini adalah fondasi hubungan sosial yang sehat. Namun, tidak jarang penghormatan ini berkembang melampaui batas wajar. Dari sekadar kekaguman menjadi pengultusan. Dari mengapresiasi menjadi meyakini bahwa orang tersebut tidak boleh salah. Inilah yang disebut sebagai kultus individu — suatu fenomena sosial yang sangat berbahaya tapi sering kali tak disadari.

Kultus individu terjadi ketika seseorang dianggap lebih dari manusia biasa. Sosok itu dipandang selalu benar, tidak boleh dikritik, dan segala perbuatannya dianggap suci atau penuh hikmah, bahkan jika ia keliru. Pengikutnya akan mencari-cari pembenaran, menolak kritik, dan membangun tembok imunitas di sekitar figur tersebut. Dalam kasus seperti ini, masyarakat berhenti menilai secara rasional dan mulai percaya secara membuta.

Kultus semacam ini bukan hal baru. Ia telah lama hadir dalam sejarah politik, agama, dan budaya. Namun di zaman media sosial, kultus individu menjadi jauh lebih mudah dan cepat menyebar. Kini, siapa saja bisa tampil sebagai “panutan” dengan bantuan kamera bagus, pengeditan yang lihai, dan kata-kata yang terdengar agung. Influencer, motivator, bahkan orang biasa yang konsisten membangun citra positif bisa tiba-tiba dianggap sebagai sosok suci. Mereka bukan hanya dihormati, tapi diidolakan sampai pada titik yang tidak sehat.

Persoalannya, ketika seseorang telah diposisikan di atas langit, maka saat ia tergelincir sedikit saja, kepercayaan publik bisa runtuh seketika. Inilah ironi dari pengultusan: ekspektasi terlalu tinggi, sehingga kesalahan kecil pun tampak sebagai bencana besar. Salah satu contoh paling terkenal di Indonesia adalah kasus Aa Gym.

Aa Gym adalah sosok yang mengubah wajah dakwah Indonesia menjadi lebih lembut dan menenangkan. Dakwahnya tidak hanya menyentuh, tapi juga membumi. Ia pun dikenal luas sebagai ustaz karismatik yang mengajarkan pentingnya kesabaran, keluarga, dan keteladanan. Popularitasnya bahkan menembus media internasional. Majalah Time menyebutnya sebagai “Holy Man of Indonesia”. Namun, saat ia memutuskan untuk menikah lagi — sebuah tindakan yang sebenarnya sah secara hukum dan agama — reaksi publik sangat keras. Banyak pengikutnya kecewa berat, bahkan marah. Sekali lagi, bukan karena poligaminya, tapi karena masyarakat merasa dikhianati oleh sosok yang telah mereka posisikan sebagai panutan suci.

Kasus ini menggambarkan dengan jelas bagaimana kultus individu bekerja. Publik terlanjur menaruh kepercayaan yang nyaris total. Sehingga ketika muncul tindakan yang dianggap tidak sesuai dengan citra yang dibangun selama ini, kepercayaan itu hancur berantakan. Padahal, Aa Gym tetaplah manusia biasa, yang bisa membuat keputusan hidup sesuai keyakinannya.

Inilah sisi gelap dari membangun nama baik secara berlebihan. Ketika seseorang tampil terlalu sempurna, maka kesalahan sekecil apa pun akan diperbesar. Dan karena manusia pasti punya celah, maka cepat atau lambat akan ada celah itu muncul. Saat itu terjadi, bukan hanya reputasi yang runtuh, tapi juga kepercayaan publik secara menyeluruh. Yang tersisa adalah sinisme, kekecewaan, bahkan trauma kolektif.

Di era digital, jebakan ini makin parah. Media sosial memungkinkan siapa pun membangun citra diri secara sepihak. Kita bisa memilih hanya menampilkan sisi baik, mengedit kata-kata agar terdengar bijak, atau menyusun narasi agar tampak sempurna. Visual bisa menipu, dan algoritma bisa memperkuat ilusi. Pengikut yang terpesona akan mulai mengabaikan kekurangan dan hanya fokus pada pesona yang ditampilkan.

Namun ketika kebenaran muncul — saat publik tahu bahwa tokoh tersebut ternyata tidak sebijak yang dibayangkan, tidak setulus yang terlihat — maka kekecewaan menjadi tak terelakkan. Kita sering menyalahkan tokohnya. Tapi faktanya, masyarakat juga punya andil besar dalam membangun mitos itu sendiri. Kita sendiri yang menempatkan mereka di atas langit, lalu menjatuhkan mereka ketika realitas tak sesuai imajinasi.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa membangun citra baik adalah pedang bermata dua. Ia bisa menginspirasi banyak orang, memperkuat komunitas, dan menumbuhkan harapan. Tapi ia juga bisa menciptakan jebakan kesempurnaan. Ketika citra telah terlanjur sempurna, maka tokoh tersebut tak lagi punya ruang untuk salah — dan ini tidak manusiawi.

Apa solusinya? Kita perlu membangun budaya menghormati yang sehat. Hormat, tapi tetap rasional. Kagum, tapi tidak buta. Mengapresiasi seseorang bukan berarti menempatkannya di singgasana suci. Biarkan tokoh tetap menjadi manusia. Biarkan mereka berbuat salah dan memperbaiki diri, sebagaimana kita pun ingin dimaklumi saat khilaf.

Sebaliknya, bagi para figur publik: jangan menikmati kekaguman berlebihan jika tak sanggup menanggung bebannya. Jangan menikmati posisi sebagai “panutan suci” jika Anda tidak siap hidup dengan transparansi dan konsistensi tinggi. Jadilah manusia biasa yang otentik — bukan figur sempurna yang rapuh.

Kultus individu bukanlah bentuk cinta atau penghormatan. Ia adalah ketidakadilan terhadap manusia, karena kita menuntut seseorang menjadi Tuhan. Dan saat manusia dipaksa menjadi Tuhan, maka kegagalan akan terasa seperti kiamat. Masyarakat pun akan kehilangan kepercayaan — tidak hanya pada tokoh itu, tapi pada nilai-nilai kebaikan yang dulu mereka percaya.

Maka marilah kita membangun budaya yang lebih jujur, lebih berimbang, dan lebih manusiawi. Hormatilah orang baik, ambillah inspirasinya, tapi jangan kultuskan siapa pun. Karena pada akhirnya, semua manusia bisa salah. Dan hanya Tuhan yang sempurna.