Memahami Pentingnya Konsistensi Mazhab: Antara Hukum Islam dan Sistem Modern
Hukum Tidak Bisa Berdiri di Atas Pragmatisme

Hukum, apa pun bentuknya—baik hukum Islam, hukum negara, atau sistem adat—tidak bisa dijalankan secara semaunya. Ia memerlukan sistem, metode, dan tanggung jawab. Dalam dunia hukum, kita mengenal istilah “mazhab”, yakni aliran pemikiran hukum yang memiliki metode dan pendekatan tersendiri. Di dunia Islam Sunni, mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali adalah contoh sistem hukum yang tidak hanya terdiri dari fatwa, tetapi juga metodologi istinbat (penggalian hukum) yang lengkap.
Sayangnya, di masa kini, banyak yang memandang mazhab seperti pilihan menu—diambil yang cocok dan ditinggal yang berat. Ini disebut “talfiq”, yaitu mencampuradukkan pendapat dari berbagai mazhab dalam satu kasus demi kemudahan atau kepentingan pribadi. Padahal, tidak ada sistem hukum yang sehat yang membenarkan pencampuradukkan mazhab secara sembarangan. Hukum yang sehat menuntut konsistensi. Seorang hakim tidak bisa hari ini memakai metode A, besok metode B, hanya karena ingin mempermudah tugasnya. Itu bukan hukum, itu kekacauan.
Talfiq dalam Praktik: Dari Nikah Mut’ah hingga Talak Tiga
Salah satu contoh nyata dari talfiq yang merusak adalah dalam kasus pernikahan dan perceraian. Ada orang yang melakukan akad nikah mut’ah (pernikahan sementara yang dikenal dalam Syiah), padahal ia mengaku Sunni. Lalu ketika ingin menceraikan, ia memakai metode talak tiga dalam satu lafaz dan menganggapnya hanya satu talak, mengikuti pendapat minoritas. Jika ini dibolehkan, maka hukum pernikahan dan kehormatan perempuan bisa dipermainkan sesuka hati. Tidak ada perlindungan, tidak ada keadilan.
Dalam hukum, niat baik saja tidak cukup. Harus ada metode, sistem, dan tanggung jawab. Mencomot hukum dari berbagai mazhab demi kenyamanan justru merusak bangunan hukum itu sendiri.
Hukum Modern Pun Tidak Bebas Talfiq
Prinsip konsistensi ini tidak hanya ada dalam hukum Islam. Dalam sistem hukum modern pun, pencampuradukkan metode atau pendekatan hukum bisa berbahaya. Kita mengenal dua sistem besar:
- Common Law: Mengandalkan preseden (putusan hakim sebelumnya), berkembang di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara bekas koloninya.
- Civil Law: Mengandalkan kodifikasi hukum (undang-undang tertulis), berkembang di Eropa daratan seperti Prancis dan Jerman.
Beberapa negara yang mencoba mencampur dua sistem ini tanpa desain matang malah mengalami kekacauan hukum. Contohnya, di beberapa negara Afrika dan Asia, pengadilan menjadi inkonsisten. Hakim ragu, masyarakat bingung, dan hasilnya adalah ketidakpastian hukum.
UU Populis dan Fatwa Pragmatik
Contoh lain dari kegagalan pragmatisme adalah dalam pembuatan undang-undang populis. Banyak pemerintah mengeluarkan peraturan hanya untuk meredakan tekanan publik, tanpa mempertimbangkan prinsip hukum yang berlaku. Akibatnya, aturan mudah berubah, bentrok dengan konstitusi, atau tidak bisa ditegakkan.
Dalam dunia fatwa kontemporer, pragmatisme juga sering muncul. Ada lembaga yang mengeluarkan fatwa pembolehan transaksi ribawi dengan nama-nama Islami. Istilah-istilah syariah dikemas sedemikian rupa untuk membungkus praktik yang sebenarnya tidak sesuai syariat. Akibatnya, umat menjadi bingung dan kehilangan kepercayaan terhadap otoritas agama.
Klasik atau Modern, Hukum Tetap Butuh Mazhab
Sebagian orang berkata, “Itu kan zaman klasik. Sekarang kita hidup di era digital, harus fleksibel.” Tapi fleksibel bukan berarti inkonsisten. Ulama klasik berpegang pada mazhab karena mereka tahu pentingnya sistem. Justru banyak yang mengaku progresif hari ini malah bebas mengutip dari berbagai mazhab tanpa tanggung jawab ilmiah.
Hukum klasik dan hukum modern sepakat dalam satu hal: konsistensi adalah fondasi keadilan. Kalau tidak ada aturan main yang tetap, maka hukum hanya akan jadi alat kekuasaan atau kepentingan sesaat.
Penutup: Kembalilah pada Disiplin
Menariknya, meskipun banyak negara maju yang terbuka dan plural, mereka tidak mencampuradukkan mazhab hukum dalam satu perkara. Inggris tetap dengan common law-nya, Prancis tetap dengan civil law-nya. Karena mereka tahu, mencampur mazhab hukum seenaknya hanya akan merusak struktur hukum yang telah dibangun dengan susah payah.
Islam pun demikian. Hukum Allah bukan untuk dimodifikasi seenaknya. Ulama telah mewariskan mazhab sebagai jalan sistematis untuk memahami wahyu. Jika kita menginginkan hukum yang berwibawa, maka konsistensi adalah harga mati.
Talfiq bukan solusi. Ia adalah jalan pintas yang menyesatkan. Dalam hukum, baik klasik maupun modern, mazhab adalah jantung dari disiplin. Maka, mari kita pelihara warisan ini dengan tanggung jawab, bukan dengan kenyamanan semu.