Migrasi 2G ke 4G: Negara Harus Melindungi Rakyat dari Jerat Utang Digital

Pria paruh baya memegang ponsel jadul dengan ekspresi khawatir, simbol migrasi 2G ke 4G dan risiko utang digital.
Migrasi jaringan 2G ke 4G membuat jutaan rakyat dipaksa beralih ke smartphone tanpa perlindungan memadai, membuka celah pada ekspansi utang digital dan eksploitasi data.

Ketika pemerintah dan operator telekomunikasi menggelar program migrasi jaringan dari 2G ke 4G, narasi yang dominan adalah soal kemajuan teknologi dan perluasan konektivitas. Tak dapat dimungkiri, percepatan akses digital menjadi kebutuhan zaman. Namun, di balik jargon transformasi digital ini, tersimpan risiko serius yang mengancam kelompok masyarakat rentan—terutama warga pedesaan dan pengguna baru smartphone—yakni jebakan konsumsi digital dan ekspansi utang berbasis aplikasi.

Migrasi ini secara de facto memaksa jutaan pengguna feature phone beralih ke smartphone. Dampaknya bukan sekadar pada perangkat keras, tapi juga pada pola konsumsi, privasi, dan akses terhadap pinjaman daring yang agresif dipasarkan oleh fintech. Begitu seseorang masuk ke ekosistem 4G, ia otomatis menjadi target iklan, promosi e-commerce, dan tawaran kredit mikro yang sangat mudah diakses namun berpotensi menjerat.

Di tengah euforia konektivitas, kita lupa bahwa digitalisasi tanpa literasi hanya akan melahirkan ketimpangan baru. Rakyat bukan lagi sekadar pengguna, tapi juga obyek eksploitasi data dan pasar konsumsi digital. Apakah ini yang dimaksud dengan kemajuan?

Negara Tidak Boleh Diam

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara atas perlindungan hukum dan kepastian keadilan. Begitu pula Pasal 33 ayat (4) menegaskan bahwa perekonomian nasional harus diselenggarakan berdasarkan asas berkelanjutan, berkeadilan, dan berpihak pada rakyat. Dalam konteks ini, negara tidak bisa sekadar menjadi fasilitator teknologi, melainkan harus aktif sebagai pelindung rakyat dari bentuk-bentuk eksploitasi ekonomi baru.

Migrasi jaringan bukan hanya isu teknis, tetapi isu strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketika koneksi 4G menjadi pintu masuk utama bagi praktik pinjaman daring yang tidak transparan, maka negara wajib hadir. Pemerintah pusat maupun daerah harus menyadari bahwa perluasan infrastruktur digital harus diimbangi dengan perlindungan yang memadai terhadap data pribadi, perlindungan konsumen, dan edukasi digital yang berkelanjutan.

Perlindungan atau Pengabaian?

Di lapangan, kita melihat berbagai program “bantuan HP 4G”, tukar tambah, hingga pembagian kartu data yang secara tidak langsung memaksa masyarakat beralih. Namun nyaris tak ada program literasi digital dan keuangan yang menyertainya. Banyak warga yang akhirnya masuk dalam pusaran utang digital hanya karena terpikat iklan satu aplikasi pinjaman yang muncul tak lama setelah membeli smartphone.

Lebih berbahaya lagi, data perilaku pengguna—seperti lokasi, kebiasaan belanja, jam aktif, hingga kontak pribadi—diproses secara masif oleh algoritma perusahaan untuk menciptakan profil risiko kredit. Tanpa perlindungan data yang memadai, rakyat sedang dijadikan komoditas ekonomi oleh korporasi digital.

Saatnya Negara Hadir

Pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret, antara lain:

  1. Mensyaratkan literasi digital dan keuangan dalam setiap program distribusi perangkat 4G.
  2. Memperketat pengawasan terhadap aplikasi pinjaman digital, termasuk pembatasan pemasaran agresif kepada pengguna baru.
  3. Memastikan pelaksanaan UU Perlindungan Data Pribadi secara serius dan konsisten.
  4. Mendorong ekosistem digital yang berpihak pada produktivitas, seperti aplikasi pertanian, UMKM, atau pendidikan, bukan hanya konsumsi.

Migrasi 2G ke 4G adalah keniscayaan, tapi keadilan dan perlindungan rakyat adalah amanat konstitusi. Jangan sampai di tengah gegap gempita modernisasi, negara justru abai terhadap bahaya baru yang menyusup lewat gawai pintar. Dalam era digital ini, tanggung jawab negara tidak berubah—yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk dari bentuk penjajahan gaya baru: penjajahan data dan utang.