Kritik, Apresiasi, dan Kepentingan: Saat Demokrasi Menjadi Arena Transaksi Opini

demokrasi dan kritik
Fungsi kritik dalam demokrasi

Dalam sistem demokrasi, kritik kerap disebut sebagai oksigen yang memberi kehidupan. Ia adalah bentuk kewaspadaan warga negara terhadap kekuasaan, saluran untuk menyuarakan kegelisahan, dan mekanisme koreksi sosial terhadap kebijakan publik. Namun dalam praktiknya, tidak semua kritik lahir dari nurani dan niat murni untuk memperbaiki. Ada pula kritik yang dibangun secara strategis, dengan tujuan tertentu di luar substansi kritik itu sendiri.

Kita hidup di zaman ketika opini menjadi komoditas, dan suara publik bisa dimanipulasi. Kritik tidak lagi berdiri sebagai alat koreksi, tetapi telah menjadi instrumen kekuasaan, bahkan sumber penghasilan. Hal yang sama berlaku untuk apresiasi: pujian bukan lagi sekadar ungkapan penghargaan, tapi bisa menjadi bagian dari orkestrasi politik.

Kritik Sebagai Jalan Menuju Kekuasaan

Dalam politik, tak sedikit individu yang membangun karier dengan menjadi kritikus vokal terhadap penguasa. Ini bukan hal baru. Kritik memang bisa menjadi panggung strategis untuk menunjukkan kompetensi, keberanian, dan komitmen terhadap rakyat. Namun, ketika kritik menjadi semata-mata alat promosi diri untuk merebut jabatan, ia kehilangan integritasnya.

Fenomena ini cukup lazim terlihat menjelang pemilu. Tiba-tiba banyak pihak yang mendadak kritis terhadap situasi nasional—bukan karena baru menyadari persoalan, tetapi karena sadar momen. Kritik dalam konteks ini sering kali bersifat selektif, penuh narasi populis, dan disampaikan dengan gaya teatrikal untuk memikat simpati publik.

Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menyebutkan bahwa dalam “arena sosial”, individu bersaing memperebutkan modal simbolik seperti reputasi, pengaruh, atau kredibilitas. Kritik, dalam hal ini, menjadi alat untuk mengumpulkan modal tersebut. Mereka yang paling vokal bisa menjadi yang paling diperhitungkan.

Apresiasi dan Kritik sebagai Alat Propaganda

Dalam masyarakat demokratis yang kian terhubung lewat media sosial, kritik dan pujian bisa dimainkan secara sistematis untuk membentuk persepsi publik. Kita mengenal istilah buzzer, influencer politik, hingga tim media sosial. Peran mereka bukan hanya menyampaikan informasi, tapi juga membentuk narasi: siapa yang harus dipuji, siapa yang harus dikritik, dan bagaimana keduanya dikemas.

Ini adalah wajah lain dari propaganda modern. Kritik dan apresiasi tidak lagi lahir secara organik dari nalar publik, tapi dikurasi oleh tim komunikasi untuk menciptakan citra tertentu. Narasi-narasi ini menyebar dalam bentuk meme, video pendek, komentar publik figur, atau bahkan artikel ilmiah yang didanai.

Kita bisa melihat bagaimana sosok-sosok tertentu tiba-tiba dipuji habis-habisan di banyak kanal, dengan narasi yang seragam. Sebaliknya, tokoh lain diserang dengan tudingan berulang, meski faktanya masih abu-abu. Demokrasi seperti ini bukan lagi pertarungan ide, tapi pertarungan framing.

Kapitalisasi Kritik: Opini sebagai Sumber Penghasilan

Realitas lain yang tak kalah penting adalah munculnya profesi baru dalam ekosistem demokrasi: pengkritik dan pengapresiasi profesional. Mereka adalah individu atau kelompok yang bekerja memproduksi opini—baik dalam bentuk artikel, unggahan media sosial, podcast, atau video YouTube—dengan orientasi ekonomi.

Beberapa dari mereka digaji secara langsung oleh aktor politik, partai, atau korporasi. Ada pula yang hidup dari klik, views, dan endorsement karena mengangkat isu-isu tertentu yang sedang viral. Di balik konten opini yang “seolah independen”, sering tersembunyi relasi finansial atau kontrak kerja sama.

Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2020 menyebut bahwa pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp90,45 miliar untuk propaganda digital. Bahkan laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 2021 turut menyoroti penggunaan buzzer dan spyware dalam membentuk opini publik di Indonesia.

Akibatnya, publik tidak lagi bisa membedakan mana opini yang jujur dan mana yang berbayar. Ruang diskusi publik menjadi kabur, penuh kebisingan, dan rentan disusupi kepentingan.

Menjadi Publik yang Kritis terhadap Kritik

Kondisi ini menuntut kita sebagai warga negara untuk tidak sekadar menjadi konsumen informasi, tapi juga pembaca yang kritis. Kita perlu mengajukan pertanyaan: siapa yang berbicara? Apa latar belakangnya? Apakah ia punya kepentingan terhadap isu yang dibahas? Apakah ia bersikap konsisten?

Kita tidak bisa lagi menelan mentah-mentah kritik dan pujian hanya karena ia terdengar meyakinkan. Demokrasi menuntut keterlibatan aktif, termasuk dalam memilah dan menilai kualitas argumen. Sebagaimana diingatkan oleh filsuf Slavoj Žižek, “Tugas kita bukan hanya melihat apa yang dikatakan, tapi mengapa sesuatu dikatakan dengan cara tertentu.”

Kritik dan apresiasi adalah dua sisi mata uang dalam kehidupan demokrasi. Keduanya penting, selama lahir dari ketulusan dan kejujuran intelektual. Tapi ketika kritik menjadi alat perebutan posisi, dan pujian menjadi jasa berbayar, demokrasi berisiko kehilangan makna. Ia bukan lagi ajang pertarungan gagasan, tapi ajang transaksi narasi.

Maka, di tengah kebisingan opini hari ini, kita perlu menjadi lebih tenang. Bukan anti kritik. Bukan anti apresiasi. Tapi pro pada kejujuran. Karena demokrasi yang sehat tidak cukup dengan kebebasan berbicara—ia butuh ketulusan dalam berbicara.

You may also like...