Talfiq Merusak Hukum: Dari Mazhab Fikih hingga Sistem Modern

Mengapa konsistensi hukum adalah prinsip universal—baik dalam syariat maupun peradaban modern.

hukum dan konsistensi
Pentingnya konsistensi di dalam pengambilan keputusan hukum.

Dalam tradisi Islam Sunni, empat mazhab besar—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—bukan sebatas kumpulan fatwa, tetapi jalan keilmuan yang terus diamalkan dan dipelajari oleh umat Islam hingga hari ini. Setiap mazhab memiliki metodologi istinbat (yakni proses menggali hukum dari sumber-sumber syariat) yang sistematis, menyusun kaidah dan usul dengan ketat agar hukum yang dihasilkan bukan hasil akal-akalan, melainkan hasil ijtihad—yaitu usaha intelektual seorang ulama—yang bertanggung jawab dan memenuhi syarat untuk berijtihad.

Syarat Melakukan Ijtihad

Berikut syarat-syarat melakukan ijtihad yang diambil dari syarah kitab Al-Mursyidul Mu’in oleh Syaikh Ali Laraki Al-Husaini.

Apa yang penting untuk dipahami oleh seorang Muslim adalah bahwa syarat ijtihad
adalah sebagai berikut:

  • Muslim
  • Bertanggungjawab
  • Memiliki integritas moral
  • Sadar dengan keadaan sosial dan jaman serta tempat di mana dia hidup
  • Berfikiran tajam dan cerdas
  • Menguasai bahasa Arab secara luas, leksikologi dan retorika Arab
  • Mengetahui Qur’an. Mengetahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), nasikh
    mansukh, mengetahui ayat-ayat hukum (sekitar 500 ayat), mengetahui
    pengajaran Nabi shallallahualaihiwasallam seputar ayat-ayat itu oleh para Sahabat,
    Tabi’un dan ulama lain dalam ilmu tafsir Qur’an; mengetahui bermacam qiraat (cara
    membaca Qur’an) dan implikasi perbedaan hukum dari cara-cara membaca itu.
  • Mengetahui Sunnah. Ini berimplikasi pada pengetahuan terhadap hadist yang
    berhubungan dengan hukum, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui hadist dan
    para perawinya, mengetahui pertentangan hadist dan tingkatan-tingkatan hadist.
  • Mengetahui pendapat hukum Sahabat beserta pembuktian periwayatan mereka.
  • Mengenali pokok hukum ada mufakat atau tidaknya
  • Mengetahui aturan qiyas (analogi) dan penerapannya secara tepat
  • Menguasai Ushul Fiqih
  • Mengetahui tujuan Syariah (Maqasid asy-Syariah) dan penerapannya supaya tidak
    menimbulkan kesulitan yang tidak perlu.

Dikarenakan sebagian besar Muslim tidak memenuhi kualifikasi ini maka wajib untuk
bertaqlid, mengikuti seorang mujtahid atau sebuah madzhab. Seseorang hanya boleh ber-
Taqlid mengikuti salah satu dari empat madzhab, selain empat itu adalah haram
berdasarkan ijma (konsensus/mufakat).

Seorang awam tidak boleh mempertanyakan dalil mengenai suatu perkara dalam fiqih
seolah-olah dia memiliki kapasitas untuk memahaminya. Dia musti mematuhi sebuah
madzhab dan mengikuti Imamnya karena sang Imam itulah dalilnya.

Sayangnya, di era ini semangat bermadzhab justru mulai diganti dengan semangat “pilih yang paling ringan,” dengan dalih ijtihad, tanpa memperhatikan kerangka berpikir hukum yang konsisten. Talfiq—yakni mencampuradukkan mazhab dalam satu perkara tanpa dasar metodologis—semakin jamak dilakukan, bahkan oleh tokoh agama yang tampil di ruang publik. Padahal dalam disiplin hukum, sikap seperti ini sangat berbahaya.

Tidak ada sistem hukum yang membenarkan pencampuradukan mazhab seenaknya. Setiap sistem hukum dibangun dengan prinsip dan metodologi yang konsisten untuk memberikan keadilan dan kepastian. Masing-masing mazhab, baik itu berdasarkan teori (pelaksanaan hukum yang sudah dirumuskan sebelumnya dalam bentuk tertulis) atau praktik (berdasarkan amalan yang berlaku di suatu tempat), memiliki kaidah dan aturan yang jelas dalam menafsirkan sumber hukum. Mencampuradukkan mazhab tanpa memperhatikan prinsip dan konteks yang berlaku justru merusak keutuhan dan kejelasan hukum itu sendiri, yang pada akhirnya menciptakan ketidakpastian dan kekacauan dalam penerapannya.

Menariknya, negara-negara maju yang sangat terbuka seperti Inggris, Prancis, Jerman, hingga Jepang tetap memegang satu pendekatan hukum yang konsisten. Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, menganut sistem Common Law yang berbasis preseden (putusan pengadilan terdahulu), sementara Prancis dan Jerman setia pada Civil Law yang berbasis kodifikasi (undang-undang tertulis). Tidak ada satu pun dari mereka yang mencampur dua mazhab hukum itu dalam satu perkara, karena hal tersebut justru merusak bangunan hukum yang telah dirancang secara sistematis. Bahkan dalam yurisdiksi campuran seperti Quebec dan Louisiana, pembagian antara Common Law dan Civil Law ditetapkan secara tegas menurut jenis perkara—bukan dicampur seenaknya. Hal yang sama berlaku dalam tradisi fikih Islam: mayoritas ulama sepakat bahwa talfiq tanpa dasar yang sah akan menghasilkan inkonsistensi hukum dan membuka celah penyalahgunaan. Namanya hukum, ya harus dijalani dengan metodologi yang konsisten dan tanggung jawab. Bukan dikutip seenaknya.

Dalam sejarah hukum, baik klasik maupun modern, tidak ada perbedaan dalam prinsip dasarnya: hukum menuntut konsistensi. Para ulama klasik dengan tegas memegang satu mazhab karena memahami bahwa hukum adalah sistem yang terbangun dari metodologi yang teruji. Mereka tidak bermain-main dengan hukum, karena tahu bahwa ketidakteraturan hanya akan melahirkan kekacauan. Ironisnya, sebagian tokoh agama di era modern justru cenderung mencampuradukkan mazhab seenaknya, mengutip satu pandangan di sini, mengambil celah dari yang lain di sana, tanpa tanggung jawab metodologis. Ini bukan ijtihad, tapi talfiq yang dibungkus pragmatisme. Padahal, baik dalam hukum positif maupun fikih, mencampuradukkan mazhab tanpa dasar bukanlah bentuk keluwesan, melainkan pelemahan terhadap bangunan hukum itu sendiri.

Di tengah iklim keilmuan yang semakin cair, tetap berpegang pada satu mazhab bukan berarti sempit atau fanatik. Justru di situlah kita belajar adab terhadap ilmu, belajar konsisten terhadap metodologi, dan terhadap para mujtahid—yakni para ulama ahli yang memenuhi syarat ijtihad—yang telah berijtihad dengan keilmuan dan integritas. Menyatukan hukum bukan berarti mencampur, tapi memahami batas dan tanggung jawab.

You may also like...